Friday, August 23, 2013

From Temple to Temple

Setelah bangun dan mandi, gw sarapan toasted bread dan cheese omelette, sementara ade gw meminta banana pancake. Perut terisi, kami pun bergegas menuju area borobudur.

Sekian lama menyusuri Jalan Magelang sampe bosan, lalu masuk-masuk jalan kecil sambil tanya-tanya orang, candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Ngawen. Kalau dari bagaimana batu-batunya disusunn sepertinya ada 5 candi utama dan mungkin beberapa candi-candi kecil. Tapi hanya 1 candi yang lumayan terlihat utuh. Di sekelilingnya terdapat parit jalur air.

Perjalanan dilanjutkan menuju Candi Mendut. Candi di Mendut hanya 1, tapi candinya cukup besar dan megah. Bayar retribusinya hanya rp3300,- per orang dan sudah termasuk biaya melihat Candi Pawon. di dekat Candi Mendut ada Vihara Mendut yang apik dipandang sehingga kami melihat-lihat sejenak ke dalamnya.

Candi Ngawen
Vihara Mendut
Candi Mendut
 
Mendekati Borobudur, kami berkunjung ke Candi Pawon dahulu. Candi Pawon juga hanya satu candi tunggal yang berdiri, namun ukurannya jauh lebih kecil daripada Candi Mendut. Tidak butuh waktu terlalu lama untuk melihat-lihat dan mengelilingginya.

Candi Pawon
Perjalanan pun berlanjut ke Borobudur, candi yang mungkin bisa dikatakan candi termegah di Indonesia. Terakhir kali gw dateng kesini mungkin waktu SD atau SMP. Rasanya banyak perubahan di kompleks candi ini dalam belasan tahun tersebut. Kompleksnya menjadi jauh lebih rapih dan besar. Biaya masuknya lumayan, rp 30.000,- per orang. Tambah Rp 7500,- kalau mau naik semacam kereta supaya bisa langsung ke pintu masuk candi tanpa perlu berjalan kaki.

Luasnya candi borobudur lumayan membuat ngos-ngosan. Sekitar 4 lantai pertama penuh relief yang ramai. Coba gw bisa mengerti apa maksud relief-relief tersebut, sayang pengetahuan gw masih sangat cetek. Tapi puas banget rasanya waktu akhirnya sampai di lantai paling atas dengan stupa-stupa yang membuat perasaan plong.

Turun dari candi kita kembali ngos-ngosan berjalan kaki ke tempat parkir motor dan pake nyasar di tempat para pedagang souvenir. Terik matahari siang juga lumayan sukses membakar kulit meski gw dah lumayan pake sunblock. ++; 

Candi Borobudur



Kami kembali ke Jalan Magelang menuju Yogyakarta. Untuk makan siang, kami mampir di Restoran Jejamuran yang cukup terkenal. Makanannya oke, tapi tadinya gw expect lebih banyak variasi jamur di menu nya. Misalnya jamur kuping, enoki, atau shimeji. Yang kita pesen hanya jamur portabello crispy dan jamur king oyster lada hitam. Ngga difoto karena udah lupa saking lapernya.

Perjalanan dari candi ke candi masih belum selesai. Setelah kenyang, kami menuju candi-candi sekitar Kalasan, yaitu Candi Sambisari, Candi Sari, dan Candi Kalasan.

Candi Sambisari terletak cukup dalam melewati sawah, kebun, dan pemukiman penduduk. Candi ini cukup unik karena letaknya yang cukup menjorok ke dalam. Ada 1 candi utama yang berhadapan dengan 3 candi kecil yang masih berupa tumpukan batu.
Candi Sambisari
Candi Sari dan Kalasan cenderung lebih mudah ditemukan. Candi Sari ada di sebelah utara jalan Adi Sucipto, di belokan tepat sebelum masjid dengan atap kubah yang agak nyentrik, lalu lurus terus sampai ketemu candinya. Bentuknya mirip Candi Plaosan tapi lebih besar, di dalamnya ada 3 ruangan dan dulu sepertinya bertingkat 2.
Candi Sari
Sementara Candi Kalasan ada di sebelah selatan jalan. Setelah putar balik ke arah Yogyakarta, ada belokan setelah restoran ayam bakar Kalasan/Candi Sari (saya lupa nama restoran persisnya) lalu belok kiri dan kita langsung disuguhkan cantiknya Candi Kalasan. Konon Candi ini untuk memuja Dewi Tara. Sayang kondisinya cukup buruk. Bahkan tidak ada tangga undakan untuk masuk ke dalamnya. Ada sih tumpukan batu yang kalau dipanjat-panjat sepertinya bisa masuk ke dalam. Tapi karena gw takut ngegelinding jatoh maka gw urungkan niat buat nekat masuk. --;
Candi Kalasan
Waktu sudah semakin sore dan candi-candi lain pun sudah tutup. Kami segera ke daerah Keraton untuk makan sore di Bale Raos. Letaknya dekat pintu belakang Keraton. Menu-menunya unik dan enak-enak. Banyak menu yang katanya favorit Sultan Hamengkubuwono VIII atau diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX yang hobi memasak. Kita memesan Salad Djawa, Bistik Djawa, Bir Djawa (non alkohol), Teh Kayu Manis, dan beberapa dessert. Bistik Djawa sebenarnya lebih mirip makanan Eropa, tapi dikasih saus khas yang agak manis. Rasanya benar-benar mantap. Mungkin ini steak burger terenak yang pernah gw makan sampai sekarang.



Setelah kenyang makan makanan ala Sultan Yogyakarta, kami mampir ke toko Coklat Monggo di Tirtodipuran dan membeli buanyak coklat buat oleh-oleh. Ntah berapa yang akan bertahan sampai nanti kembali ke jakarta. XD

Kami kembali ke prawirotaman, mengembalikan motor sewaan, lalu puas-puasin mandi setelah tadi berdekilria di jalanan. Besok mungkin akan lebih menantang lagi, karena kami hendak mengunjungi dataran tinggi Dieng dengan mengandalkan kendaraan umum.

No comments: