Wednesday, August 28, 2013

From Royal Palace to Street Vendor

Hari ini adalah hari terakhir kita bisa puas-puasin jalan-jalan keliling kota Surakarta. Besok soalnya seharian cuma pergi dari Surakarta kembali ke Adi Sucipto Yogyakarta, nungguin pesawat, terbang kembali ke Jakarta dan berjuang menerjang macet sampai kembali ke rumah.

Rencananya di siang hari kita hendak mengunjungi Museum Radya Pustaka, Keraton Kasunanan, dan Pura Mangkunegaran. Tapi pagi ini terdengar kabar mengenai konflik di Keraton Surakarta. Katanya mengenai halal bihalal dan pengangkatan jabatan keluarga Keraton yang bermasalah dan menjadi bentrok. Berita tersebut lumayan bikin cemas kalau-kalau acara hari ini akan sedikit terganggu.




Museum Radya Pustaka letaknya paling dekat hotel, jadi kita kesana terlebih dahulu. Koleksinya mungkin kira-kira mirip Museum Nasional, tapi jauh lebih kecil dan sedikit. Yang spesial dari museum ini adalah koleksi naskah kunonya serta beberapa kitab lontar. Tidak asli memang, hanya berupa salinan. Namun bagi yang bisa membaca Hanacaraka, bisa berbahasa Jawa (terutama mungkin Kromo Hinggil), dan hendak mencari informasi tertentu mengenai kesultanan di Jawa, disini bisa menjadi sumber referensi yang bagus.



Selanjutnya kami berjalan kaki sampai Kasunanan Surakarta. Rupanya konflik pada hari sebelumnya membuat kami tidak bisa masuk ke sebagian wilayah keraton. Kami hanya diijinkan di pendopo depan yang menjadi tempat menerima tamu, dan bagian keraton yang memang menjadi museum. Konon Keraton Kasunanan Surakarta merupakan yang paling angker se indonesia karena banyaknya benda-benda keramat yang sudah berusia ratusan tahun. Warna yang mendominasi Keraton Kasunanan Surakarta adalah biru muda.

Kasunanan Surakarta


Pura Mangkunegaran

Sementa Pura Mangkunegaran merupakan kediaman Adipati Surakarta. Tapi sang Adipati dan keluarganya lebih banyak berada di Jakarta sementara Pura Mangkunegaran dikunjungi bila ada acara-acara tertentu. Warna yang mendominasi tempat ini adalah hijau muda. Koleksinya tidak seangker Kasunanan Surakarta, namun cukup informatif untuk memberi gambaran kehidupan para Adipati maupun bangsawan Jawa dalam beberapa generasi.

Yang lumayan membuat kaget adalah besarnya tips yang diminta abdi dalem yang memandu kami. ^^; sewaktu di Yogjakarta beberapa tahun lalu, guidenya cenderung lebih malu-malu dalam meminta. Mungkin enak juga ketika mereka lebih jelas meminta tips sehingga tidak ada kesalahpahaman. Tapi agak bingung sebenarnya wajarnya berapa jumlahnya.

Usai dari Pura Mangkunegaran, kami isi perut sejenak dengan makan soto di area Triwindu dan nasi timlo. Kedua makanan ini sebenarnya mirip, hanya beda beberapa isinya. Keduanya menggunakan daging sapi (mungkin sebenarnya ada juga timlo daging ayam). Kuahnya jernih, gurih tapi ringan, membuat dagingnya terasa mantab. ^^

Karena gw masih penasaran dengan keberadaan mall yang mirip CP di Solo, gw sedikit mencari informasi dan ternyata ada mall lain yang namanya Solo Square. Dari jalan slamet riyadi kita menuju arah barat sampai jalurnya jadi 2 arah. Lalu kita naik bus sampai ke depan Solo Square yang ternyata posisinya bahkan melewati Stasiun Purwosari.

Kesan gw tentang Solo Square, mall nya cukup oke dan lebih bagus daripada Solo Grand Mall. Tapi kalau dibilang mirip CP terus terang gw masih rada sangsi. :S Entah apa sebenernya masih ada pusat perbelanjaan lain di Solo.

Di Solo Square kita keliling-keliling sambil nyemil Sour Sally dan Teh Taiwan. Lalu kita naik Batik Solo Trans kembali ke Slamet Riyadi, berjalan kaki menuju Jalan Yos Sudarso untuk mencari Warung Shijack. Yang spesial dari warung ini adalah mereka menyediakan susu segar dengan berbagai rasa di menunya, beserta makanan camilan dan gorengan lainnya. Sewaktu kembali ke hotel, ternyata ada Warung Shijack lain yang letaknya jauh lebih dekat. --; kita malah carinya di tempat yang jauh...


Yah, demikian bisa dibilang seluruh petualangan kami di Yogyakarta dan Solo. Besok kami sudah harus berberes-beres dan kembali lagi ke Jakarta. Tahun depan mungkin gw pengen ke Trowulan di Jawa Timur, sebelum situsnya rusak karena katanya mau ada pabrik baja yang didirikan di tempat tersebut. T_T


Ciao~

Monday, August 26, 2013

Cetho, Sukuh, Tawangmangu

Sekitar jam 8 kami mulai keluar dari hotel. Karena tidak menemukan Bus Atmo di Slamet Riyadi, akhirnya kami mencoba naik taksi ke Terminal Tirtonadi dari depan Novotel. Ternyata naik taksinya minta minimal bayar rp20.000,- meski argonya tidak sampai segitu. Kayaknya kecuali buat nanti pulang ke stasiun, kita nga akan pake taksi lagi. :S

Dari Terminal Tirtonadi kita naik bus jurusan tawangmangu lalu turun di terminal Karangpandan. Kemudian naik lagi minibus sampai pertigaan Nglorok. Disini kita sewa ojek untuk ke Candi Cetho, Candi Sukuh, dan Air Terjun Tawangmangu. Entah apa harga ojeknya lagi mahal atau wajah semi oriental kita memang sangat ngga menolong untuk menawar harga sehingga kita dimintanya sampai Rp 200.000,- untuk 2 ojek . Padahal kalau baca-baca blog orang kayaknya pada dapet 30-50rb per ojek.

Candi Sukuh


Candi Cetho
Candi Cetho dan Sukuh gaya reliefnya sangat berbeda dengan candi-candi sekitar Yogyakarta. Mungkin karena dibuat di jaman yang berbeda. Candi Sukuh sekilas mengingatkan kita dengan piramid Suku Maya di Amerika. Ada beberapa patung dan relief yang ditata di sekitar candi, tapi pada candinya sendiri hampir tidak ada relief gambar.

Begitu pula dengan Candi Cetho. Ada beberapa patung dan relief bergambar, tapi tidak pada candinya sendiri. Candi cetho mengingatkan saya dengan pura umat Hindu, dan disekitar situ memang penduduknya banyak pemeluk agama Hindu. Candi cetho sendiri sepertinya masih digunakan untuk upacara keagamaan.

Medan menuju candi cetho dan sukuh dihiasi area perkebunan sayur dan teh yang juga sangat indah. Kebun-kebunnya tidak securam di Dieng, tapi karena kita menggunakan motor, tanjakan, turunan, dan kelak-kelok nya lumayan bikin deg-degan. Tapi jalan tersebut ternyata ngga ada apa-apanya dibanding jalan belakang menuju Tawangmangu. Sudah curam, lebih sempit, tikungannya lebih tajam, dan jalanannya gradakan tidak rata. +_+;

Tapi syukurlah kita sampai dengan baik ke pintu loket 2 Tawangmangu. Normalnya orang mengakses dari loket 1 supaya tinggal turun saja. Tapi karena kita dari loket 2, kita harus menanjak terus sampai ke air terjun.

Air Terjun Tawangmangu

Air terjunnya memang bagus. Pantas banyak orang yang suka berekreasi disini. Ada banyak monyet yang berkeliaran. Mereka memang tidak seseram monyet ubud, tapi kalau melihat orang membawa buah-buahan, maka digaronglah oleh para monyet. Ada juga tempat berenang dan permainan model flying fox untuk rekreasi. Bila lapar, disini banyak yang menjual sate ayam dan sate kelinci.

Setelah ngos-ngosan menanjak sampai ke loket 1, kami masih harus berjalan kaki sampai ke Terminal Tawangmangu. Ada bus rute ke Solo yang sedang ngetem, jadi kami pun segera naik dan sekitar 2 jam kemudian sampai kembali di kota Surakarta.

Sampai di Terminal Tirtonadi, kita langsung ke Solo Grand Mall naik becak. Salah satu temen kantor gw pernah bilang di Solo ada mall yang mirip CP Jakarta. Tapi sepertinya bukan Solo Grand Mall ini yang dia maksud. Entah apa ada mall besar lain di Solo atau gw nya yang salah denger.

Kita makan sedikit dan jalan-jalan sejenak di Solo Grand Mall, lalu berjalan kaki sepanjang Slamet Riyadi ke arah hotel. 
Tadinya kita mau jalan lebih lanjut ke arah timur, tapi ade gw mendadak kejeblos lubang trotoar sehingga sedikit keseleo. Jadinya kita makan sore di restoran yang cukup dekat dengan hotel. Namanya O-Solo-Mio~

O-Solo-Mio adalah Restoran Italia yang pizzanya dibakar menggunakan semacam tungku. Mungkin kalau di Jakarta seperti Peppenero atau Pisa Cafe. Saladnya banyak dan enak. Pizzanya juga tidak terlalu berminyak. Suasana restorannya asik buat pacaran atau ngobrol-ngobrol dengan teman. Harganya tapi mahal, mungkin ini sebenarnya high class resto di Solo. ^^;


Jadwal untuk besok mungkin lebih santai tapi tetap butuh tenaga, sebab kita akan mengunjungi beberapa museum dan seharian mengelilingi kota Solo.

Sunday, August 25, 2013

To Surakarta

Stasiun Tugu
 Setelah berberes di De Pendopo, kami pun check out dan pergi ke Stasiun tugu. Beruntung waktu itu sudah ada KA Sriwedari yang standby sehingga kami tinggal beli tiket dan menunggu di kursi kereta. Jam 12 siang kereta berangkat dan setelah sampai Solo kami turun di Stasiun Solo Balapan.

Stasiun Solo Balapan
Berbeda dengan Yogyakarta yang gw punya peta detilnya, gw masih lumayan buta dengan wilayah Surakarta. Jadi kita naik taksi saja dan langsung check in di Hotel Solo Tiara. Tarif hotelnya cukup ramah di kantong. Kamar, kasur, dan kamar mandinya lebih besar dari De Pendopo. Tapi secara desain dan suasana cukup standard dan disini pakenya shower.

Setelah santai sejenak di hotel, kami memutuskan menghabiskan hari untuk keliling-keliling kota Solo dan mengenal medan. Entah apa karena gw sehari-hari di Jakarta, atau karena hari hari ini hari Minggu, kesan pertama yang gw tangkap adalah Solo itu sepiii banget. Oo; jalanan lancar minah, bus yang lewat amat sangat jarang, toko-toko sudah pada tutup atau mungkin belum pada buka. Hal lain yang menarik dari kota ini adalah trotoarnya yang sungguh luas dan ditanami pohon-pohon rindang. Kadang ada becak, motor, sepeda yang bersliweran, atau pkl makanan berjualan, tapi cukup nyaman dan menyenangkan berjalan kaki di kota ini. :)

Ini trotoar di Jalan Slamet Riyadi
Sewaktu ada bus kota muncul kami langsung naik dan secara random gw minta turun di Triwindu. Disana kami sejenak melihat-lihat pasar antiknya dari luar. Kayaknya banyak barang-barang lucu, tapi gw ngga berani masuk demi menyelamatkan dompet.

Karena perut ade gw sudah keroncongan, kami bergegas berjalan kaki mencari makan. Dari Pasar Triwindu belok ke kanan (dekat Pura Mangkunegaran) kami ketemu restoran yang desainnya lucu dan antik. Namanya Tiga Tjeret. Gw nyobain Wedang 3 Tjeret nya, sementara ade gw memesan rootbeer khas restoran tersebut (lupa namanya, tapi warnanya ungu), nasi ayam kremes, dan beberapa gorengan. Semua minuman dan makanannya enak-enak. Baik lidah dan perut kami sejenak dipuaskan disana.

Hanya ada kejadian tidak enak ketika sewaktu kami makan mendadak ada maling helm diteriakin orang-orang. Entah ketangkep atau tidak, tapi hal itu langsung membuat kami lebih waspada dengan barang bawaan masing-masing.

Pasar Triwindu

Tiga Tjeret
Setelah puas dan kenyang, kami kembali berjalan-jalan, sampai ke Jalan Sudirman, lalu belok kanan ke alun-alun lor, melewati Pasar Klewer, kemudian muter balik lagi menuju Galabo. Karena pedagang di Galabo belum ada yang buka, kami bersantai sejenak di pusat perbelanjaan Luwes Lojiwetan, beli roti buat bekal besok, lalu duduk-duduk menunggu hari gelap.

Semakin larut malam sepertinya para penduduk solo mulai menampakkan diri sambil menampakkan nafsu makannya. Tempat-tempat makan yang tadinya sepi jadi ramai dipenuhi pengunjung.

Jam 6 sore kami kembali ke Galabo dan mencari sate buntel yang tersohor. Sate Buntel ternyata lumayan mahal. Harganya Rp25ribu hanya dapat 2 tusuk sate dan sepiring nasi. Tapi rasanya memang enak banget. Kata ade gw sate buntel mirip daging sapi giling dibungkus ala sosis lalu dibakar. Bumbu kecap dan ladanya menambah citarasa dagingnya yang sudah lezat. :d

Pulang dari Galabo kami kembali ke restoran Tiga Tjeret karena roti bakarnya hanya ada malam-malam dan ade gw penasaran. Di malam hari tempat ini juga jadi rame banget. Selain roti bakar es krim. Ade gw juga memesan beberapa tusuk sate random dan minuman wedang. Setelah itu kami pun berjalan kaki kembali ke hotel dan beristirahat mempersiapkan diri karena besok mau ngacir ke wilayah Karanganyar.

Saturday, August 24, 2013

Plateau of Gods and Potatoes

Informasi tentang candi-candi kecil di sekitar Yogyakarta selama ini gw cari dari mbah google. Berdasarkan sumber yang sama, hari ini gw menuju Dieng pake kendaraan umum. Dari penginapan kita naik TransJogja dan turun di terminal Jombor, lalu naik bus ekonomi ke Magelang. Dari Magelang kita naik bus lagi ke Wonosobo selama sekitar 2 jam.

Nah, di Wonosobo kita mulai bingung karena tadinya gw kira bisa langsung 1 kendaraan ke Dieng. Tapi ternyata kita harus naik 2 minibus yang berbeda. Dari Yogyakarta sampai ke dieng kurang lebih butuh 5-6 jam. Dan sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan kebun dan sawah yang dihiasi pegunungan dari kejauhan. 
Tapi kalau naik kendaraan umum pada dasarnya harus siap dengan printilan-printilan seperti penjaja barang dagangan, pengamen, supir ngetem lama, perjalanan yang tidak bebas asap rokok, dan keranjang belanjaan penduduk setempat. ^^;



Sesampainya di Dieng, kami yang kelaparan makan dulu di restoran Ibu Djono. Soto ayam nya enak dan segar. Buat camilan sambil jalan kami membeli kentang goreng yang saking nagihnya gw curiga ada campuran ganja nya.



Kompleks Candi Arjuna cukup luas, tapi candinya kecil-kecil. Ada Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, Sembadra, serta beberapa tumpukan tanpa nama. Di dekatnya ada Candi Kecil yang sedikit terpisah (lupa apa nama candinya). Lalu berjalan sedikit ke arah atas kita bisa menemukan Candi Gatotkaca.

Kompleks Candi Arjuna

Candi Gatotkaca

Sebenarnya di kawasan Dieng masih ada Candi Bima dan beberapa candi lainnya. Tapi karena sudah jam 4 sore, kami memutuskan segera kembali ke Wonosobo supaya tidak terlalu malam waktu sampai di Yogyakarta. Lain waktu harus datang ke Dieng lagi untuk menikmati semua potensi wisata nya sampai puas, soalnya disini afdolnya nginep minimal 1 malam~

Pulang dari Dieng ternyata menjadi cobaan tersendiri buat kami. Jam 5 sore sudah terlalu sore dan tidak ada bus yang masuk terminal lagi. Akhirnya dengan panik kami naik minibus dilanjutkan dengan bus ke arah Semarang dan turun di Secang, Magelang, jam 8 malam. Karena tidak ada bus lagi akhirnya kami naik taksi kembali ke Prawirotaman. Niatnya mau hemat pake kendaraan umum malah keluarnya jadi lumayan. ++;

Sebelum balik ke De Pendopo, kami makan dulu di salah satu restoran di sekitar situ. Yang model-model bar sudah lumayan rame. Kami pilihnya yang lebih sepian saja. Harganya mahal untuk standard Yogyakarta, tapi untung makanannya enak. ^^

Malam ini adalah hari terakhir kami bermalam di yogyakarta. Besok waktunya menuju Solo~

Friday, August 23, 2013

From Temple to Temple

Setelah bangun dan mandi, gw sarapan toasted bread dan cheese omelette, sementara ade gw meminta banana pancake. Perut terisi, kami pun bergegas menuju area borobudur.

Sekian lama menyusuri Jalan Magelang sampe bosan, lalu masuk-masuk jalan kecil sambil tanya-tanya orang, candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Ngawen. Kalau dari bagaimana batu-batunya disusunn sepertinya ada 5 candi utama dan mungkin beberapa candi-candi kecil. Tapi hanya 1 candi yang lumayan terlihat utuh. Di sekelilingnya terdapat parit jalur air.

Perjalanan dilanjutkan menuju Candi Mendut. Candi di Mendut hanya 1, tapi candinya cukup besar dan megah. Bayar retribusinya hanya rp3300,- per orang dan sudah termasuk biaya melihat Candi Pawon. di dekat Candi Mendut ada Vihara Mendut yang apik dipandang sehingga kami melihat-lihat sejenak ke dalamnya.

Candi Ngawen
Vihara Mendut
Candi Mendut
 
Mendekati Borobudur, kami berkunjung ke Candi Pawon dahulu. Candi Pawon juga hanya satu candi tunggal yang berdiri, namun ukurannya jauh lebih kecil daripada Candi Mendut. Tidak butuh waktu terlalu lama untuk melihat-lihat dan mengelilingginya.

Candi Pawon
Perjalanan pun berlanjut ke Borobudur, candi yang mungkin bisa dikatakan candi termegah di Indonesia. Terakhir kali gw dateng kesini mungkin waktu SD atau SMP. Rasanya banyak perubahan di kompleks candi ini dalam belasan tahun tersebut. Kompleksnya menjadi jauh lebih rapih dan besar. Biaya masuknya lumayan, rp 30.000,- per orang. Tambah Rp 7500,- kalau mau naik semacam kereta supaya bisa langsung ke pintu masuk candi tanpa perlu berjalan kaki.

Luasnya candi borobudur lumayan membuat ngos-ngosan. Sekitar 4 lantai pertama penuh relief yang ramai. Coba gw bisa mengerti apa maksud relief-relief tersebut, sayang pengetahuan gw masih sangat cetek. Tapi puas banget rasanya waktu akhirnya sampai di lantai paling atas dengan stupa-stupa yang membuat perasaan plong.

Turun dari candi kita kembali ngos-ngosan berjalan kaki ke tempat parkir motor dan pake nyasar di tempat para pedagang souvenir. Terik matahari siang juga lumayan sukses membakar kulit meski gw dah lumayan pake sunblock. ++; 

Candi Borobudur



Kami kembali ke Jalan Magelang menuju Yogyakarta. Untuk makan siang, kami mampir di Restoran Jejamuran yang cukup terkenal. Makanannya oke, tapi tadinya gw expect lebih banyak variasi jamur di menu nya. Misalnya jamur kuping, enoki, atau shimeji. Yang kita pesen hanya jamur portabello crispy dan jamur king oyster lada hitam. Ngga difoto karena udah lupa saking lapernya.

Perjalanan dari candi ke candi masih belum selesai. Setelah kenyang, kami menuju candi-candi sekitar Kalasan, yaitu Candi Sambisari, Candi Sari, dan Candi Kalasan.

Candi Sambisari terletak cukup dalam melewati sawah, kebun, dan pemukiman penduduk. Candi ini cukup unik karena letaknya yang cukup menjorok ke dalam. Ada 1 candi utama yang berhadapan dengan 3 candi kecil yang masih berupa tumpukan batu.
Candi Sambisari
Candi Sari dan Kalasan cenderung lebih mudah ditemukan. Candi Sari ada di sebelah utara jalan Adi Sucipto, di belokan tepat sebelum masjid dengan atap kubah yang agak nyentrik, lalu lurus terus sampai ketemu candinya. Bentuknya mirip Candi Plaosan tapi lebih besar, di dalamnya ada 3 ruangan dan dulu sepertinya bertingkat 2.
Candi Sari
Sementara Candi Kalasan ada di sebelah selatan jalan. Setelah putar balik ke arah Yogyakarta, ada belokan setelah restoran ayam bakar Kalasan/Candi Sari (saya lupa nama restoran persisnya) lalu belok kiri dan kita langsung disuguhkan cantiknya Candi Kalasan. Konon Candi ini untuk memuja Dewi Tara. Sayang kondisinya cukup buruk. Bahkan tidak ada tangga undakan untuk masuk ke dalamnya. Ada sih tumpukan batu yang kalau dipanjat-panjat sepertinya bisa masuk ke dalam. Tapi karena gw takut ngegelinding jatoh maka gw urungkan niat buat nekat masuk. --;
Candi Kalasan
Waktu sudah semakin sore dan candi-candi lain pun sudah tutup. Kami segera ke daerah Keraton untuk makan sore di Bale Raos. Letaknya dekat pintu belakang Keraton. Menu-menunya unik dan enak-enak. Banyak menu yang katanya favorit Sultan Hamengkubuwono VIII atau diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX yang hobi memasak. Kita memesan Salad Djawa, Bistik Djawa, Bir Djawa (non alkohol), Teh Kayu Manis, dan beberapa dessert. Bistik Djawa sebenarnya lebih mirip makanan Eropa, tapi dikasih saus khas yang agak manis. Rasanya benar-benar mantap. Mungkin ini steak burger terenak yang pernah gw makan sampai sekarang.



Setelah kenyang makan makanan ala Sultan Yogyakarta, kami mampir ke toko Coklat Monggo di Tirtodipuran dan membeli buanyak coklat buat oleh-oleh. Ntah berapa yang akan bertahan sampai nanti kembali ke jakarta. XD

Kami kembali ke prawirotaman, mengembalikan motor sewaan, lalu puas-puasin mandi setelah tadi berdekilria di jalanan. Besok mungkin akan lebih menantang lagi, karena kami hendak mengunjungi dataran tinggi Dieng dengan mengandalkan kendaraan umum.

Thursday, August 22, 2013

Arrived at Yogyakarta

Belakangan isi blog gw kayaknya lebih banyak cerita waktu jalan-jalan... Tapi tak apalah. =d
Akhirnya datang juga hari yang sudah disiapkan sejak awal tahun. Hari ini gw dan ade gw travel ke yogyakarta dan akan dilanjutkan ke surakarta 3 hari kemudian. Pagi-pagi jam 5an kita sudah harus bangun untuk siap-siap dan berangkat menuju bandara. Sebenarnya sih pesawat kita terbangnya jam 10an. Tapi daripada siangan dikit ternyata macet nga ketulungan dan telat, mendingan dateng pagian deh. Setelah beberapa jam luntang-lantung di bandara dan satu setengah jam duduk manis di pesawat, sampailah kita di bandara Adi Sucipto dan langsung melanjutkan naik trans jogja menuju daerah Prawirotaman.

Prawirotaman adalah area yang cukup terkenal untuk para backpacker karena banyaknya guesthouse atau hotel dengan tarif murah. Memang tidak bisa mengharapkan layanan yang mewah dan macam-macam, yang penting cukup bersih dan layak. Di daerah ini kita bisa melihat banyak turis mancanegara berseliweran entah jalan-jalan atau sedang makan karena banyak restoran, cafe, dan bar berselang-seling dengan penginapan. Harga makanannya rata-rata tarif 'bule'. Kurang lebih hampir sama atau sedikit lebih murah daripada harga makanan di salah satu fancy resto mall besar di jakarta. Tapi secara kualitas dan kuantitas sangat memuaskan, besar dan lezat~ ^^


Nama tempat menginap kita adalah De Pendopo. Tadinya sempet bingung nyari tempatnya karena ternyata rada dalem. Belok kiri, kanan, kiri lagi. Dan pintu depannya agak bikin gw mikir 'nga salah nih tempatnya?' karena pintunya begini.
Yep, kita masuknya lewat pintu belakang. Pintu depannya entah dimana.
Gw dan ade gw pun masuk dengan perasaan gundah gulana. Apalagi resepsionisnya somehow lagi nga terlihat. Kemudian baru muncul seorang ibu yang ternyata pengurus penginapan dan kita pun ditunjukkan ke kamar. Ternyata kamarnya not bad. Unik malah. Kamar mandinya juga seperti yang di foto dan menyebabkan gw memilih booking tempat ini. Etnik dan pake bathtub dengan langit-langit rada transparan, sehingga kita bisa berendam sambil melihat angkasa ceritanya~ (tapi nga ada wastafel). Keseluruhan sih memang bukan kamar yang luar biasa mewah, tapi keunikannya menjadi added value tersendiri.

 
Seusai berberes di kamar, kita segera merental motor dan bergegas ke arah Prambanan. Gw memutuskan untuk mengunjungi Candi Plaosan terlebih dahulu. Letak candi plaosan lebih dalam daripada prambanan dengan pemandangan sawah yang menghiasi perjalanan. Nyarinya sambil nanya-nanya orang juga.

Candi Plaosan bukan kompleks candi megah seperti Prambanan. Ada 2 kompleks Candi Plaosan yang letaknya berdekatan. Kompleks Plaosan Lor terdiri dari 3 candi utama dengan candi-candi kecil di sekelilingnya. Sayang yang baru direkonstruksi kembali hanya 2 candi utama dan beberapa candi kecil yang mengelilinginya. Sementara kompleks Plaosan Kidul tinggal jalan kaki sedikit ke arah Selatan, lebih kecil, terdiri dari banyak candi-candi kecil yang seragam bentuknya. Disini pun beberapa yang sudah direkonstruksi kembali.
Candi Plaosan Lor


Salah satu candi Plaosan Kidul
Dari Plaosan, kami kemudian menuju candi Banyunibo. Untuk menuju candi ini, kita ke arah Candi Ratuboko, lalu mengikuti jalan rusak di perempatan dengan tanda petunjuk jalan ke arah candi tersebut. Candi Banyunibo juga cantik. Hanya ada 1 candi utama yang berdiri, sementar candi pendampingnya masih berwujud tumpukan batu. Akses jalan kesini meski lebih dekat daripada ke candi Ratuboko sangat berbatu sehingga kami yang naik motor agak kesulitan. Mungkin karena itu juga pengunjungnya tidak terlalu banyak. Tapi kalau mau ke Ratuboko ada baiknya sebentar mampir kesini dulu. :)
Candi Banyunibo
Lanjut ke Candi RatuBoko. Dari Candi Banyunibo, tinggal ikutin jalan sampai nemu perempatan yang jalanannya mulai mulus lalu belok kekanan. Dari terakhir beberapa tahun lalu saya ke tempat ini ada beberapa perubahan. Rumput yang dulu panjang bikin gatel-gatel sekarang sudah pendek dan mudah dilalui. Lebih banyak batu-batu candi yang sudah tersusun.
Gerbang RatuBoko
Yang benar-benar terlihat selesai di tempat ini sebenarnya baru gerbang utamanya saja. Sisanya baru pondasi lantai-lantai dan tembok. Letaknya yang tinggi memberikan pemandangan yang spesial di tempat ini, apalagi ketika senja tiba. Sewaktu matahari terbenam dan kami hendak kembali, ternyata sedang ada acara tari-tarian (gw ngak tahu nama tariannya apa) yang sekilas seperti upacara karena ada yang membawa bendera merah putih dan beberapa sajen untuk simbol. Sendratari utama nya akan ada jam 7 malam. Tapi karena takut terlalu gelap waktu pulang, kami memutuskan kembali dan mencoba mencari tiket Ramayana di Prambanan saja.

Sayangnya waktu kami sampai di Prambanan, areanya sudah agak gelap dan tutup, dan kita bingung juga dimana membeli tiket pertunjukannya. Jadi rencana pun dialihkan untuk mencari KaliMilk dan Waroeng of Raminten untuk merasakan kuliner khas Yogyakarta.

KaliMilk terletak di Kaliurang km 4,6 dan relatif mudah ditemukan dengan neon sapi nya yang besar mencolok. Tapi kami memutuskan mencari Waroeng of Raminten yang terletak di km15,5. Perbedaan sekitar 11 km itu ternyata amat sangat panjang. Ade gw stress kita ngga sampai-sampai sementara jalan makin menanjak, udara makin dingin, padahal kita ngga ada yang pake jaket. ++;

Tapi semua penderitaan itu terbayar sudah. Waroeng of Raminten adalah tempat makan yang didesain sangat bernuansa etnik Jawa. Sepertinya ada beberapa tempat duduk berupa balai atau saung kecil-kecil di bagian belakangnya. Kami memilih duduk di tempat lesehan dengan tatapan 2 patung yang sepertinya suami istri. Makanan di tempat ini banyak yang menarik. Kami memesan Mie Raminten Malangan, Tempe Goreng 1 porsi, Kebab Sapi, Wedang Godong Lanang, dan Sari Temulawak. Semuanya enak-enak dan harganya pun tidak terlalu mahal. Untuk semua itu total-total kami membayar sekitar Rp 50.000,-


Waroeng of Raminten
Pulang dari Waroeng of Raminten, kami segera ke KaliMilk untuk mencoba tempat yang digembar-gemborkan salah satu teman gw yang asal Yogyakarta. Hawa dingin kembali menerpa kami yang tidak berjaket, apalagi waktu itu sudah hampir jam 9 malam. Di KaliMilk jadinya kita hanya sekedar mencoba segelas susu ukuran medium dan segelas yogurt. Sekedar biar tidak penasaran saja. Takut kemaleman soalnya. 
KaliMilk
Petualangan hari ini pun selesai. Besok kita bakal menuju wilayah candi-candi di Borobudur. =d