Saturday, October 22, 2011

Bystander Effect

Beberapa hari kemarin gw, anak-anak kantor gw, dan gw rasa beberapa teman gw yang lain dikejutkan dengan berita seorang balita berusia 2 tahun bernama Yue Yue di cina yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Yang membuat kisah ini menjadi heboh adalah bagaimana ternyata seluruh kejadian secara jelas direkam kamera pengawas dan terlihat setelah menabrak si pengemudi justru akhirnya kabur, bagaimana orang-orang seperti pemilik toko di sekitar tempat itu maupun pejalan kaki atau pengendara yang lewat tidak ada yang menolong atau setidaknya memanggil ambulans, dan bagaimana ada mobil lain yang kembali melindas anak yang terkapar ini. Sampai akhirnya seorang ibu pemulung mencoba menolong dan kerabat si anak datang dengan panik. Semua yang melihat,termasuk rakyat Cina sendiri ngeri dengan peristiwa mengenaskan tersebut dan bertanya-tanya apa yang salah sehingga 18 orang hanya melewati Yue Yue dan tidak melakukan apa-apa.


Seorang teman gw yang berapi-api juga mempertanyakan kenapa tidak ada yang langsung memanggil polisi dan ambulans. Gw tidak tahu di Cina harusnya bagaimana, tapi karena gw tinggal di Indonesia, gw bisa dibilang apatis sama hampir semua jenis pekerjaan termasuk polisi dan dokter, apalagi kalau pekerjaannya makin dekat dengan yang berbau-bau pemerintahan. Tapi setidaknya gw masih bisa membayangkan kalau itu terjadi di Indonesia, orang-orang akan teriak, ada yang ramai mengerumuni, mungkin ada yang mencari orangtua si anak, dan sebagian lagi mengejar mobil, memaksa si supir keluar, dan memukuli si supir mungkin sampai mati kalau tidak ada yang melerai.

Fenomena masyarakat yang terlihat ngga memberikan reaksi ketika ada kejadian-kejadian seperti ini sebenernya bisa dibilang sudah umum. Kita baru bisa kasih reaksi ketika melihat dari sudut pandang ketiga. Sementara ketika ditempatkan dalam situasi sudut pandang kedua mungkin kita juga bisa sama apatisnya. Gw sungguh ngga membela penabrak atau orang lewat yang ngga melakukan apa-apa. Itu jelas salah. Hanya saja gw juga takut dan ngga bisa menjamin diri gw sendiri akan berbuat sesuatu ketika gw ditempatkan langsung dalam situasi yang sama.

1-2 hari setelah menonton kisah tersebut di youtube, gw dapet share video dari facebook. Ada sekelompok orang melakukan riset dan membuat situasi seolah-olah terjadi penculikan anak. Setelah mencoba beberapa kali, banyak yang tidak peduli dan tidak melakukan apa-apa. Ada yang berpikir situasinya ambigu karena seperti seorang anak yang sedang nakal dan melawan ayahnya. Setelah beberapa kali percobaan akhirnya beberapa orang baru mencoba menolong si anak. Studi tersebut membuat researchernya terperangah dengan apatisme masyarakat yang ternyata cukup besar. Tapi yang begini-begini gw rasa tetap harus ada riset lebih lanjut supaya bisa dicari akar permasalahan sampai solusinya.

Kemudian jumat kemarin gw mungkin bisa dibilang mendadak ditempatkan dalam situasi orang kedua. Kejadiannya beda sih. Gw, bokap, dan nyokap menaiki sebuah mobil dan hendak pulang ke rumah setelah sebelumnya mengunjungi rumah langganan nyokap untuk urusan bisnis beliau di daerah pondok indah. Baru saja keluar dari gang rumah tersebut kita melihat mobil hitam yang sepertinya bertabrakan dengan sebuah taksi. 


Mulanya gw kira si pemilik mobik hitam mau marah-marah ke taksinya. Tapi sedetik kemudian ternyata dari mobil hitam keluar beberapa orang yang berpakaian serba hitam, semua memakai jaket hitam, topi hitam, dan memegang pistol yang juga hitam, semua mengincar bagian pintu belakang yang seharusnya area penumpang, membuka, lalu menarik keluar seorang pria yang duduk di kursi belakang, mengunci kedua tangan pria tersebut lalu membawanya ke dekat mobil hitam mereka. Suasana waktu itu cukup gelap dan hanya diterangi lampu remang-remang dari rumah-rumah di Pondok Indah dan sejauh gw melihat-lihat seharusnya tidak ada kamera di sekitar situ.

Dari bagaimana para pria berbaju hitam itu bergerak, otak gw entah kenapa langsung menyimpulkan kalau mereka adalah polisi yang sedang menangkap penjahat. Pembawaannya ketika mendekati taksi seperti terlatih dan arah pistol lebih untuk siaga daripada mengancam. Dan karena bokap parno kena peluru nyasar kalau malah diam disitu, dia segera tancap gas untuk menghindar. Bokap dan nyokap langsung barengan berasumsi itu bandar narkoba yang sudah diincar dan sedang ditangkap sementara gw yang tadinya berpikir itu polisi mulai bertanya-tanya apa benar mereka polisi. Bagaimana kalau SOP rampok sekarang juga mulai kayak gitu. Ato lebih buruk lagi, bagaimana kalau itu pembunuh bayaran yang kemudian mengincar keluarga gw karena jadi saksi mata... OO;;; 

*menggelinding dengan lebay*

Yah, bokap dan nyokap gw punya kenalan polisi juga, jadi mungkin mereka lebih ngerti. Karena gw bahkan ngga kepikiran itu serse narkoba sama sekali (sempet mikir itu koruptor mao kabur dan tinggal di daerah pondok indah malahan... ^^; ) Tapi bila memang ternyata pria taksi gw lihat adalah orang malang yang tak berdosa, maka berarti gw sekeluarga mungkin kena yang namanya bystander effect apapun alasan dan argumennya. Mungkin karena itu juga gw bener-bener berharap kalau mereka adalah polisi, pada akhirnya demi kedamaian batin gw sendiri untuk membenarkan pembiaran yang sudah gw lakukan. =S

Sewaktu bokap gw menyimpulkan kalau mereka adalah polisi narkoba, gw pun mulai berdecak kagum.

Me : Wah, kalau begitu polisi kriminal kayak narkoba emang kerjanya bener ya...? (mencoba untuk mulai tidak apatis sama polisi)
Bokap : Iya lah. Narkoba kan duidnya gede. Mereka bisa mintain duit berapa puluh juta lagi dari gembong-gembong itu kalau mereka mau bebas, atau narkoba yang didapat bisa untuk dijual lagi buat dapet tambahan.
Me : ... (makin apatis)





No comments: